Wednesday, May 13, 2009

'Anak Nusantara' - Myth, Legend or Truth (Sudut Pandangan Tiga Dimensi Syair Perang Makassar)

SUDUT PANDANG TIGA DIMENSI SYAIR PERANG MAKASSAR


Oleh : DR. Ahyar Anwar S.S., M.Si
PENDAHULUAN
Disertasi C. Skinner yang kemudian dibukukan Sja’ir Perang Mengkasar : The Rhymed Chronicle of Macassar War (ditermahkan Syair Perang Mengkasar oleh Abdul Rahman Abu dan diterbitkan oleh Penerbit Ininnawa 2008) menunjukkan sebuah fenomena penting yang kompleks pada aspek sejarah, politik, budaya, agama, dan sastra. Secara fundamental, Skinner, telah membedah dengan sangat cermat dan memadai tentang eksistensi Syair Perang Makassar yang dikarang oleh Enci’ Amin (Enci’ Ambun). Syair Perang Mengkasar dikaji dengan pendekatan intuitif-impresionistik melalui interpretasi subjektif yang menonjol. Fakta-fakta sejarah otentik, sejauh terkait langsung, maupun interpretasi-interpretasi langsung  dari Skinner (yang mempunyai akses baik terhadap institusi sejarah Indonesia dai Eropa) menjadi kekuatan menonjol dalam analisis terhadap Syair Perang Mengkasar.
Terdapat tiga aspek utama yang sangat penting, dalam karya Skinner. Pertama adalah mengidentifkasi dengan cukup akurat posisi teks karya Enci’ Amin dengan tokoh-tokoh yang dibicarakan didalam teks Syair Perang Mengkasar (termasuk mengungkap eksistensi tentang Enci’ Amin sebagai Juru Tulis Melayu Sultan Hasanudin). Kedua adalah penelusuran filologis yang memadai untuk mengungkap eksistensi teks Syair Perang Mengkasar (termasuk kemungkinan waktu penulisan, interteksualitas, dan  sistem linguistik). Ketiga adalah penghubungan historis antara teks Syair Perang Mengkasar dengan kronik peristiwa sejarah aktual-faktual yang menjadi dasar penulisan teks.
Meskipun demikian, setidaknya ada beberapa hal yang masih tersisa (untuk didiskusikan lebih lanjut) dari Syair Perang Makassar. Pertanyaan pertama adalah mengapa Syair Perang Makassar lahir dalam bentuk sastra dan bahasa Melayu? (pertanyaan tentang siapa Enci’ Amin sudah cukup memadai dalam buku karya Skinner). Pertanyaan kedua adalah untuk siapa Syair Perang Makassar tersebut diorientasikan oleh pengarang? Pertanyaan kedua ini sangat penting mengingat budaya sastra di etnik Makassar tidak mendasarkan diri pada tradisi Melayu. Etnik Makassar juga telah memiliki aksara sendiri (lontar) untuk kepentingan kesasteraan. Pertanyaan ketiga adalah bagaimana Syair Perang Makassar digunakan sebagai cara pandang tiga dimensi menilai konteks secara historis. Tiga pertanyaan tersebut adalah bagian yang kurang dipersoalkan dalam buku Syair Perang Mengkasar karya Skinner.
___________________________
SASTRA MELAYU DI MAKASSAR
Ada banyak kemungkinan untuk merekonstruksi jawaban memadai tentang lahirnya “Sastra Melayu” di Makassar. Sebagian besar fakta yang dapat digunakan untuk menyusun jawaban memadai sudah terdapat dalam buku Skinner. Enci’ Amin adalah seorang juru tulis Sultan Hasanuddin Raja Gowa yang dikuatkan dengan data-data VOC dari Belanda. Fakta lainnya adalah hubungan-hubungan intertekstual yang sangat kuat antara karya Enci’ Amin dengan Hamzah Fansuri sastrawan Melayu Aceh. Fakta selanjutnya adalah  munculnya gaya bahasa Minang dalam teks “Syair Perang Mengkasar” karya Enci’ Amin. Ketiga fakta tersebut sangat mungkin terkait dengan hubungan antara Kerajaan Gowa dengan para ulama dari Sumatera melalui Islam. Hal tersebut sangat tampak  dengan kuatnya konstruksi Islam dalam teks Syair Perang Mengkasar.
Diperlukan sebuah lingkaran historis terbatas untuk menelisik fenomena munculnya sastra Melayu di Makassar. Batasan pertama adalah fakta sejarah tentang penerimaan Islam di Gowa yang ditandai dengan Islamnya kerajaan Gowa Pada tahun 1605 (Ricklef : 2001). Raja Gowa yang pertama memeluk Islam adalah I Malingkaang Daeng Manyonri Karaeng Katangka pada 22 September 1605 (Razak Daeng Patunru : 1993). Pada tahun tersebut,  telah berkembang sastra Melayu Islam yang sangat kuat di Pasai (Aceh) melalui karya-karya Hamzah Fansuri di pertengahan tahun 1500-an,  Syamsudin hingga awal tahun 1600-an, Abdurrauf Singkil dan Nuruddin ar-Raniri pada akhir tahun 1600-an. Keempat sastrawan Melayu Islam tersebut muncul pada rentang tahun penulisan Syair Perang Mengkasar (yang menurut Skinner kemungkinan ditulis pada rentang 1669 saat berakhirya perang Makassar VOC hingga 1727 saat wafatnya Sultan Hasanudin (Skinner, 2008 : 45-46). Bahkan menurut Ricklef (2008: 128) telah terdapat terjemahan karya-karya Nuruddin ar-Raniri di Gowa yang masyarakatnya sangat fanatik Islam.
Tentu teralu intuitif jika secara langsung menghubungkan Enci’ Amin dengan kesultanan Aceh, setidaknya (penulis) belum membaca data sejarah yang memadai tentang hubungan langsung kesasteraan antara kedua kerajaan tersebut meskipun pada catatan kaki Skinner (2008:45) menegaskan catatan Drewes dan Voorhoeve bahwa Syair Perang Mengkasar mempunyai warna Aceh yang kuat. Tetapi data tentang berkembangnya sastra Melayu Islam (bukan sekedar sastra Melayu klasik seperti yang dikemukakan Skinner) juga harus dihubungkan dengan temuan kata-kata dan dialek Minangkabau pada Syair Perang Mengkasar. Hubungan antara Kerajaan Gowa dengan orang Minangkabau dapat di telusuri dengan hadirnya tiga Datuk asal Minangkabau sebagai penyiar Islam di kerajaan Sulawesi Selatan (Datuk Tiro, Datuk Bandang, dan Datuk Fatimang).
Fakta-fakta tersebut, menjadi titik pembacaan yang sangat strategis untuk menjawab munculnya sastra Melayu Islam di Gowa.  Sastra Melayu Islam bukanlah sebuah bagian yang tumbuh dari tradisi kesusasteraan etnik Makassar yang lebih bersifat sinkronik antara sejarah dan mitologi seperti Patturioloang atau prosa liris dalam bentuk Sinrilik. Munculnya sastra Melayu Islam di Gowa lebih pada konteks diterimanya Islam oleh Kerajaan Gowa dan Islam tersebut dibawa dari Sumatera. Pada titik tersebut, fakta tentang kata dan dialek Minangkabau dalam Syair Perang Mengkasar, dapat mengerti. Pada aspek lain, posisi hegemoni Kerajaan Pasai di Aceh yang menjadi awal munculnya Islam di Sumatera akan bertemu dengan fakta-fakta berkembangnya sastra Melayu Islam di Minangkabau dan mengalir ke Gowa.
Syair Perang Mengkasar tidak dapat dipandang sekedar sebagai sastra Melayu Klasik. Sebab posisi Syair Perang Mengkasar ditulis di Gowa. Posisi tempat dituliskannya syair tersebut jelas terkait dengan posisi hubungan pengarang dengan Raja Gowa dan Kerajaan Gowa sebagai kerajaan Islam. Artinya, Syair Perang Mengkasar hanya mungkin dituliskan pertama karena posisi kerajaan Gowa sebagai Kerajaan Islam, kedua adalah tradisi kerajaan Islam sangat terkait dengan tradisi sastra pada Kerajaan Islam di Pasai (Aceh), Ketiga adalah sastra utama dalam kerajaan Islam adalah dalam bentuk syair  yang berasal dari bahasa Arab (syi’r : sajak ), keempat adalah bentuk syair utama pada kerajaan Islam adalah kronik atau hikayat yang memuja-muja raja (sebagaimana karya Nuruddin ar-Raniri yang berjudul Bustan as –Salatin atau Taman Raja-Raja), Kelima adalah karya sastra Melayu Islam umumnya ditulis dengan aksara Arab.
Kelima aspek tersebut menunjukkan bahwa posisi munculnya Syair Perang Mengkasar harus dipandang dalam perspektif multidimensi. Tidak mungkin memandang munculnya sastra Melayu Islam di Gowa hanya sebagai dari fakta ontologis adanya teks sastra Melayu Islam di Gowa, ditulis di Gowa, dan tentang peristiwa sejarah Gowa. Tradisi Sastra Melayu Islam di Gowa atau pada komunitas Etnik Makassar dalam faktanya tidak banyak berkembang. Posisi munculnya teks Sastra Melayu di Makassar harus dipandang dari tiga dimensi utama  yaitu (1) metamorfosa Kerajaan Gowa menjadi Kerajaan Islam, (2) hubungan Islam yang kuat dengan Kerajaan Islam di Pasai Sumatera, dan (3) Tradisi Sastra Utama dalam Kerajaan Islam adalah dalam bentuk Syair.
SYAIR UNTUK SIAPA ?
Untuk siapa sesungguhnya sastra Melayu Islam Syair Perang Mengkasar itu diorientasikan oleh pengarang. Melihat dari sudut pandang teori respon, setiap karya sastra ditujukan untuk dibaca lebih dari sekedar untuk kepentingan dokumentasi atau catatan sejarah. Jika Syair Perang Mengkasar adalah benar sebuah karya sastra, tanpa harus memperdebatkan apakah Syair Perang Mengkasar adalah karya sastra atau bukan karena jelas adalah sebuah sajak klasik, maka untuk siapa karya sastra itu ditujukan pengarang untuk dibaca?  Jika Enci’ Amin (pengarang) mempunyai orientasi utama untuk masyarakat Makassar, mengapa tidak menuliskannya dengan aksara lontara. Atau kalau teks sastra itu dianggap penting maka mengapa tidak ditranskripsi kedalam bahasa lontara oleh pihak Kerajaan Gowa.
Teks Syair Perang Mengkasar dituliskan dalam bentuk manuskrip berbahasa Arab gundul (sama dengan manuskrip karya-karya Hamzah Fansuri dan Nurruddin ar-Raniri). Tentu ada masyarakat kerajaan Gowa pada saat itu yang mampu berbahasa atau membaca aksara Arab gundul, tetapi jika suatu karya sastra diorientasikan untuk pembaca lokal harusnya dituliskan dengan aksara lokal. Sangat mungkin Syair Perang Mengkasar tidak secara spesifik ditujukan untuk pembaca lokal. Untuk itu sangat penting memahami posisi Encik Amin sebagai pengarang. Tidak ada data yang memadai untuk memahami siapa Encik Amin pada analisis disertasi Skinner selain sebagai Juru Tulis Sultan Hasanuddin selaku Raja Gowa. Kemungkinan yang diberikan Skinner adalah posisi Encik Amin selaku orang Melayu dengan posisi bahasa Melayu  yang dianggap “tinggi” dan bayak digunakan sebagai bahasa diplomasi  di Nusantara.
Data tentang keberadaan Encik Amin pasca Perang Makassar juga tidak banyak diketahui. Melalui penelusuran Skinner, kita dapat mengetahui beberapa data tentang Encik Amin. Pertama, Encik Amin sangat mungkin adalah orang Melayu Aceh yang pernah menetap di Minangkabau serta mempunyai pemahaman dasar yang sangat memadai tentang Islam. Itulah sebabnya, dalam Syair Perang Mengkasar, ditemukan kata dan dialek Minangkabau serta istilah-istilah yang berasal dari Aceh seperti “Ilmu empat belas laksana” yang tidak lazim di Makassar tetapi sangat lazim di Aceh dikenal dengan tasrif empat belas (eleumee peuet blaih).
Kedua, Encik Amin kemungkinan orang yang datang ke Gowa dari Sumatera untuk berdagang (Skinner, 2008: 21). Ada kemungkinan bahwa Encik Amin pernah berada pada beberapa daerah lain di Nusantara untuk berdagang dan menulis-nulis karya sastra. Ketiga, Encik Amin bukanlah seorang sastrawan murni tetapi orang yang sangat tertarik dengan sastra Melayu Islam dan mempunyai wawasan tentang Sastra Melayu Islam yang sangat baik. Encik Amin menulis karya sastra Melayu Islam yang tidak luar biasa dibandingkan sastrawan Melayu Islam lainnya. Meskipun demikian, Encik Amin, sangat memahami karakter fundamental dari karya-karya sastra Melayu Islam.
Keempat, Encik Amin sebagai pengembara dan pedagang, tidak berinisiatif untuk tinggal dan menetap di Gowa. Meskipun menjadi orang kepercayaan Sultan Hasanuddin Raja Gowa. Menilik bahwa ada dua bagian dari manuskrip Syair Perang Mengkasar yaitu manuskri S (SOAS ms. No 40324) yang tersimpan di perpustakaan School of Oriental and African Studies London dan manuskrip L (Cod.Or. Bibl.Lugd. 1626) yang tersimpan di Universitas Leiden. Manuskrip S dari Syair Perang Mengkasar disalin oleh Cornelia Valentijn di Ambon pada tahun 1710, sedangkan Manuskrip S disalin di Sumatera pada akhir abad ke-18.
Melihat rentang waktu antara penceritaan tentang perang Makassar pada rentang 1660-1967, dalam Syair Perang Mengkasar, dengan waktu penyalinan di Ambon (1710). Sangat mungkin Encik Amin telah berpindah ke Ambon Maluku pasca kekalahan Gowa. Ada tiga dasar rasional bagi Encik Amin untuk ke Maluku, Pertama kedekatannya dengan Sultan Hasanuddin Raja Gowa dan keterlibatannya dalam perjanjian Bungaya (1667), kedua adalah kebencian dan sekaligus ketakutannya dengan Arung Palakka, Ketiga adalah profesi berdagangnya. Itulah sebabnya mengapa manuskrip S disalin di Ambon dan Encik Amin juga di sebut Encik Ambon (orang Melayu di Ambon).
Mempertimbangkan tidak populernya Syair Perang Mengkasar di Gowa atau tidak adanya transkripsi kedalam bahasa Lontara, atau tidak munculnya pembicaraan tentang Encik Amin dan karyanya dalam tradisi lisan di Makasar. Sangat mungkin Syair Perang Mengkasar (manuskrip S) dituliskan Encik Amin di Ambon. Itulah sebabnya Bibliotheca Marsdeniana menyebut Encik Amin sebagai Inche Ambun.(Skinner, 2008: 23). Skinner melakukan kesalahan mendasar dengan menyatakan adanya kekeliruan penyalinan kata a-m-b-n (Ambon) yang seharusnya a-m-i-n (Amin), tanpa mempertimbangkan kemungkinan Incek Amin juga dikenal sebagai Inche Ambun karena menulis Syair Perang Mengkasar di Ambon.
Manuskrip S, yang disalin di Ambon, berisi sebagian besar dari Syair Perang Mengkasar yaitu terdiri dari 38 lembar folio (76 halaman). Sisanya, Manuskrip L, disalin di Sumatera yang hanya 6 halaman saja. Fakta tersebut menunjukkan kemungkinan Encik Amin tidak menuntaskan karyanya, Syair Perang Mengkasar, di Ambon tetapi menuntaskannya secara terpisah di Sumatra. Interpretasi intuitif tersebut lebih rasional dalam memahami posisi teks Syair Perang Mengkasar yang tidak populer pada masyarakat Makassar. Bahkan sangat mungkin teks Syair Perang Mengkasar belum pernah dibaca oleh Sultan Hasanuddin hingga wafatnya pada tahun 1717. Sehingga tidak cukup mendasar jika Skinner menegaskan bahwa pemujaan (Doxology) Sultan Hasanudin dalam Syair Perang Mengkasar hanya konsekuensi dari posisi “klien” dari Incek Amin dengan patronnya Raja Gowa. Jika Syair Perang Mengkasar ditujukan untuk memuja Sultan Hasanuddin maka Sultan Hasanuddin akan menjadi tokoh fundamental dalam keseluruhan syair (meski disebut-sebut cukup dominan). Disamping itu syair karya Encik Amin harus dinamakan “Hikayat Sultan Hasanuddin” atau “Hikayat Raja Gowa” atau “Syair Sultan Hasanuddin di Gowa”.
Syair Perang Mengkasar adalah nama yang tepat untuk manuskrip syair karya Encik Amin alias Inche Ambun. Struktur syair lebih dominan menceritakan tentang perang Makassar dari pada eksistensi personal Sultan Hasanuddin. Munculnya proporsi besar Sultan Hasanuddin, dalam Syair Perang Mengkasar, lebih merupakan konsekuensi dari posisi substantif Sultan Hasanuddin dalam perang Makassar. Tetapi Syair Perang Mengkasar tidak ditujukan untuk pembaca masyarakat Makassar melainkan untuk pembaca Masyarakat Melayu Islam di Sumatera.
Ada dua analisis yang dapat dijadikan asumsi awal tentang karakter Syair Perang Mengkasar yang berbeda dengan karakter umum sastra Melayu Islam. Pertama adalah posisi Encik Amin adalah seorang yang menemukan insprasi besar saat berada di Gowa yang kemudian membuatnya terpicu menulis karya sastra (mengingat Encik Amin tidak dikenal sebagai sastrawan besar Melayu Islam). Kedua adalah encik Amin berhajat untuk menulis hikayat Sultan Hasanuddin tetapi menggabungkan atau menghubungkannya dengan perang Makassar yang kebetulan meletus. Terlepas dari yang mana yang lebih valid, Encik Amin lebih cenderung untuk menuliskan Syair Perang Mengkasar bagi pembaca di masyarakat Melayu Islam di Sumatera yang sangat gemar membaca kisah-kisah heroik atau kisah-kisah pahlawan muslim seperti Syair Perang Wangkang, Syair Perang Banjarmasin, Syair Perang Mutinghe, Syair Raja Siak, Syair Sultan Mahmud di Lingga. Masyarakat Melayu Islam juga sangat menikmati kisah-kisah personal dalam transformasi Islam seperti  Hikayat Iskandar Dzulkarnain, Hikayat Pendawa Jaya (dari Mahabarata-Hindu), dan Hikayat Sri Rama (dari Ramayana). Simaklah Manuskrip halaman 36 bait (526) berikut ,
Tamat Karangan Perang Mengkasar
Tewas dengan Bugis Welanda Kuffar
Disebatkan orang anak Mengkasar
Ewas perangnya karena lapar
Simaklah Manuskrip halaman 36 bait 528 dari Syair Perang Mengkasar (Skinner, 2008:141) :
Enci’ Amin itu empunya Kalam
Menceritakan perang kaum Islam
Barang yang mati beroleh Islam
Kemudiannya itu wallahu a’lam
SUDUT PANDANG PAHLAWAN TIGA DIMENSI
Aspek yang paling mendasar dari “pengungkapan” Skinner tentang Syair Perang Mengkasar, bukan pada fakta sejarah yang dikandung oleh teks yang ditulis oleh Encik Amin, melainkan pada pengungkapan adanya sosok Encik Amin yang terlibat dalam sejarah Kerajaan Gowa. Hampir semua fakta historis tentang perang Makassar melawan VOC sudah diketahui secara lengkap dan detail, bahkan sudah dituliskan oleh para sejarawan. Sumbangsih penting Syair Perang Mengkasar lebih pada situasi emotif dan sebuah sudut pandang internal yang sangat kaya tentang perang yang mengakhiri dominasi dan hegemoni Gowa di belahan Timur Nusantara.
Posisi teks Syair Perang Mengkasar, berada pada sisi internal-emotif dari sudut pandang Kerajaan Gowa. Sisi internal-emotif tersebut diperkuat dengan posisi pengarang (Encik Amin) yang berada pada posisi “pemihakan” total pada Kerajaan Gowa. Posisi tersebut menegaskan bahwa aspek subjektif pengarang sangat menonjol dibandingkan sisi netral memahami pecahnya perang Makassar. Fakta yang dapat dikemukakan adalah (1)  posisi Encik Amin yang sangat dekat, secara personal, dengan Sultan Hasanuddin Raja Gowa serta (2) fanatisme kuat Encik Amin terhadap Islam dengan posisi Kerajaan Gowa sebagai kerajaan Islam (Kesultanan). Kedua fakta tersebut, memungkinkan keterlibatan emosional pengarang dengan peristiwa yang digambarkannnya.
Sudut Pandang Encik Amin selaku pengarang Syair Perang Mengkasar, dapat dikatakan linear dengan sudut pandang orang-orang Makassar (pada masa itu) memandang perang Makassar. Artinya, Syair Perang Mengkasar, adalah karya sastra Melayu Islam yang dipandang dari dua dimensi utama yaitu dimensi batin orang Makassar dan Islam. Melalui dua sudut pandang itulah, muncul berbagai metafora tiga dimensi dalam Syair Perang Mengkasar.   Dimensi  pertama adalah posisi Sultan Hasanuddin mewakili Makassar; dimensi Kedua adalah posisi Arung Palakka mewakili Bugis; dimensi ketiga adalah Cornelys Speelman mewakili Belanda (VOC).
Bagi Masyarakat Makassar, melalui sisi subjektif Encik Amin dalam Syair Perang Mengkasar, terdapat perbedaan memahami orang Bugis (melalui Arung Palakka) dengan orang Belanda (melalui C. Speelman).

Sultan Hasanuddin
Arung Palakka
C. Speelman
Sempurna
Arif bijaksana
Sakti
Suci dan ikhlas
Berani dan adil
Sabar dan gemar ibadah
Tampan
Dapat dipercaya
Suka perempuan
Pendendam
Kesatria pemberani
Cerdik dan garang
Kaya Siasat
Sportif
Bebal
Pencuri
Hantu
Kafir
Pendusta
Kasar
Iblis
Najis
Setan
Terkutuk
Bakhil
Bengis
Gila
Komposisi dimensi sudut pandang tersebut, akan melahirkan rumus yang sangat rasional dari runtuhnya kerajaan Gowa. Sultan Hasanuddin harus melawan sekaligus dua tokoh representasi Bugis dan Belanda yang sangat berat. Arung Palakka mewakili perlawanan berdasarkan dendam dengan keberanian yang luar biasa (“mengamuk” dalam penjelasan Encik Amin ). C. Speelman mewakili sebuah kepentingan kolonial yang sangat mendasar dengan karakter yang minim sisi kemanusiaan.
Jika digambarkan dalam dimensi segitiga, akan dihasilkan komposisi sudut pandang pertama,
Bagi orang-orang Makassar, pada Syair Perang Mengkasar, orang Bugis adalah pemberontak yang ingin menguasai Gowa, sementara orang Belanda adalah penjajah yang kejam dan lalim serta memerangi Gowa atas nama agama (Nasrani).
Berdasarkan sudut pandang Makassar, maka tentu akan berbeda jika komposisi segitiga dibalik untuk menempatkan sisi pahlawan pada Arung Palakka (Bugis).

Orang-orang Makassar dipandang sebagai agresor sementara kehadiran Belanda adalah sebuah peluang untuk menghancurkan kekuatan aggressor Makassar. itulah sebabnya Arung Palakka tidak sepenuhnya terdeskriditkan dalam Syair Perang Mengkasar.  Arung Palakka juga digambarkan pemberani dan sportif, sebagaimana ditegaskan ketika menolak melucuti senjata orang Makassar.
Ricklef (2001: 145) bahkan menggambarkan Arung Palakka sebagai seorang prajurit yang mempunyai keberanian, keuletan, dan ambisi yang luar biasa ditopang dengan keterampilan perang yang sangat baik. Ricklef (2001:143) bahkan menegaskan bahwa Arung Palakka adalah kesatria di Nusantara yang sangat terkenal di abad XVII. Arung Palakka juga berperan dalam penaklukan pantai Barat Sumatera (Andaya, 2004:92). Dalam “Sinrilik Kappala tallumbatua” juga digambarkan keperkasaan Arung Palakka. Andaya (2004:148) bahkan menggambarkan peran personal luar biasa dari Arung Palakka yang cenderung menonjolkan “kedigdayaannya” untuk memompa semangat perang pasukan Bugis. Tindakan itulah yang ditegaskan oleh Enci Amin tentang Arung Palakka atau To Unru pada syair (halaman 34a no 509) berikut,
Si Tunderu (To Unru) itu hulubalang yang garang
Mencari akal kan berperang
Menggali lubang malam dan siang
Dibubuhnya ubat berapa loyang
Jika segitiga dibalik dalam sudut pandang Belanda maka akan ditemukan perspektif yang berbeda tentang kepahlawanan. Sebagaimana dikemukakan oleh Skinner, Cornelys Speelman, memperoleh gelar kehormatan tertingga dalam perannya melalui VOC di Nusantara bagian Timur, terutama pada perang Makassar. Sebagaimana kutipan sajak Stapel penyair besar Belanda oleh Skinner (2008:50)
“Berkat Melodi indah yang dihasilkan Speelman (sang pemain) sehebat itu
Dan berkat musik perang yang dawai-dawainya begitu gemuruh, orang-orang Makassar menarikan tarian perang di Hindia Belanda,
Dengan darah mereka……”
Berikut adalah komposisi dimensi dari sudut kepahlawanan C. Speelman, Bagaimanapun C. Speelman adalah tokoh penting yang sangat berperan pada keberhasilan misi VOC di Maluku.

Posisi Makassar sangat penting bagi Belanda pada abad XVII, bukan karena kekayaan bumi, melainkan kekuatan militer yang sangat besar dan hegemoni yang luas di wilayah Timur Nusantara. Hegemoni tersebut mencakup Maluku yang menjadi target ekonomik VOC milik Belanda. Gangguan-gangguan kekuatan militer kerajaan Gowa selalu menyulitkan kepentingan VOC di Maluku. Terutama dengan kebijakan ekonomi bebas yang diterapkan pemerintah kerajaan Gowa yang memicu aktivitas perdagangan liar rempah-rempah melalui Makassar yang sangat merugikan VOC. Pada sisi lain, menurut Ricklef (2008) dan Andaya (2004:110), Pihak Belanda sangat memahami bahwa sangat sulit untuk mengalahkan kekuatan negara utama seperti Kerajaan Gowa tanpa aliansi atau melakukan sekutu dengan kekuatan lain. Posisi Arung Palakka dengan komunitas Bugis adalah sekutu terbaik yang dimiliki Belanda untuk menaklukkan Gowa.
Jika ketiga dimensi tersebut ditransformasi pada konteks ke-Indonesiaan, maka Sultan Hasanuddin merepresentasi sosok pahlawan yang relevan dengan kriteria nasionalis karena melakukan perlawanan terhada kolonialis Belanda. Arung Palakka dianggap mempunyai “kesalahan” atau “kecacatan” nasionalis karena bersekutu dengan Belanda. Padahal Perang Makassar, yang berakhir dengan Perjanjian Bungaya di Barombong tahun 1667, mempunyai nilai yang berbeda antara Arung Palakka (Bugis) dengan C. Speelman (Belanda). Demikian pula dengan perang di pantai barat Sumatera, mempunyai nilai yang berbeda antara Arung Palakka (meski mendapat penghargaan liontin emas dari Belanda) dengan pihak VOC Belanda. Orientasi dan landasan perang dengan Makassar antara Arung Palakka dengan C. Speelman sangat berbeda. Arung Palakka lebih pada dimensi batiniah, sementara C. Speelman lebih pada strategi-ekonomik.
PENUTUP
Jika saja Kerajaan Gowa tidak melakukan agresi militer pada Kerajaan-Kerajaan Bugis (Bone) mungkin Belanda tidak dapat menembus kekuatan Kerajaan Gowa. Jika Saja Arung Palakka lebih memilih bersekutu dengan Sultan Hasanuddin, mungkin Kerajaan Bugis-Makassar adalah kekuatan yang paling fenomenal di Nusantara pada abad XVII. Jika saja perang Makassar tidak terjadi, mungkin Encik Amin tidak pernah menghasilkan karya Syair Perang Mengkasar. Terlepas dari segala kemungkinan-kemungkinan tersebut, sastra telah membuktikan kekuatan reaksi yang berbeda terhadap sebuah peristiwa. Sastra bisa menjadi sebuah “perang” yang lebih manusiawi. Bagi orang Makassar, Syair Perang Mengkasar adalah penanda estetik dari runtuhnya sebuah spirit sekaligus menjadi “penjaga” spirit itu sendiri. Kehadiran teks Syair Perang Mengkasar sekaligus menunjukkan pentingnya Kerajaan Gowa sebagai sebuah kekuatan Islam atau kesultanan Islam ternama pada abad ke XVII.
REFERENSI
Amin, Enci’. 2008. Syair Perang Mengkasar. Ininnawa dan KITLV. Makassar-Jakarta.
Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka. Ininnawa dan Media Kajian Sulawesi. Makassar.
Ricklef, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Serambi. Jakarta.
Razak Daeng Patunru, Abd. 1993.  Sejarah Gowa. Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan (YKSS). Makassar.

No comments:

Post a Comment